Senin, 03 September 2012

Menyaksikan Laku Sang Kelana

Para sahabat-sahabat yang dirahmati Alloh. Cukup lama aku tak beredar di dunia maya guna menyambung silaturahmi dan berbagi informasi dengan sahabat. Aku beberapa waktu lalu mencoba merapat menyaksikan laku sang kelana secara langsung. Aku bertemu, lebih tepatnya janjian dengan Kakah di Jalan Sriwidari Sukabumi, yakni di kediaman orang tua Kakah.

Aku dengan beberapa teman yaitu Afdal, Ujang Sofyan dan Kang Iyus ikut musafir berjalan kaki dengan Kakah dari kediaman orang tua Kakah di Jalan Sriwidari Bayangkara Kota Sukabumi menuju suatu tempat di daerah kawasan Jampang Tengah untuk melakukan acara Riyadoh di Ciburial Pada Beunghar. Kami berangkat dari Sriwidari pukul 9.00 wib dan tiba di Ciburial Pada Beunghar pukul 18.00 wib, sembilan jam kami menempuh perjalanan dengan berjalan kaki. Begitu letih tubuh kami. Kedua kaki kami terasa pegal, ngilu dan jari-jari kaki kami terasa pedih. Setelah rehat beberapa menit kami menuju ke air untuk mengambil berwudhu, karena ketika kami tiba pas adzan magrib berkumandang. Dua puluh hari Kakah Riyadoh di Ciburial Pada Beunghar, yang ternyata menurut Kakah tempat tersebut adalah tempat di mana ia dulu pertama kali Riyadoh atas perintah gurunya, Mama Madrais.

Selesai melaksanakan Riyadoh di Ciburial Pada Beunghar Jampang Tengah, Kakah melanjutkan acara di makam gurunya Mama Madrais yang berlokasi di Kampung Malimping Cipanengah Sukabumi. Di makam gurunya itu Kakah melakukan Kholwat selama tujuh puluh hari. Setelah tujuh puluh hari Kholwat di makam Mama Madrais, Kakah pun keluar dari makam Mama Madrais dan Kakah mengajak aku beserta beberapa teman meninjau lokasi-lokasi petilasan Kakah melakukan acara-acara spiritual.

Kami diajak Beliau menuju Pelabuhan Ratu dengan sasaran Gunung Halimun. Lokasi yang kami tuju pertama sebelum naik ke Gunung Halimun yaitu satu kampung kecil di bawah kaki Gunung Halimun, kampung tersebut cukup dikenal oleh masyarakat Sukabumi dengan nama Pangguyangan. Di Pangguyangan terdapat Situs Megalithikum, yakni Punden Berundak. Konon kabarnya Situs tersebut adalah peninggalan seorang Waliyulloh bernama Eyang Haji Genter Bumi. Masyarakat Pangguyangan lebih familiar menyebut Situs itu dengan sebutan Paseban atau Pangsarean. Dan menurut cerita masyarakat Pangguyangan juga, dulu di Paseban digunakan oleh Eyang Haji Genter Bumi untuk melakukan musyawarah bersama sahabat-sahabat Walinya yang lain, malah konon Wali Songo pun sempat bermusyawarah di tempat tersebut. Di Pangguyangan kami menemui salah seorang tokoh masyarakat Pangguyangan yang sudah lama dikenal Kakah, yaitu Kakah akrab memanggilnya dengan panggilan Mang Dadang. Dengan Mang Dadanglah kami akan dipandu melakukan perjalanan menuju tempat Kakah Riyadoh di Gunung Halimun.

Setelah beberapa saat rehat dan mendengarkan kisah-kisah yang ada di Pangguyangan, kami dengan ditemani Mang Dadang dan saudaranya yakni Kang Iwan dan Kang Hasan dengan penuh bersemangat melanjutkan perjalanan pendakian menuju Gunung Halimun. Perjalanan diawali dengan menyusuri jalan setapak kampung yang berlanjut dengan berjalan di pematang sawah yang sisi jalannya terdapat irigasi untuk pengairan sawah, yang masyarakat Pangguyangan menyebutnya dengan sebutan somang, air yang mengalir di irigasi itu jernih dan tampak begitu segar. Setelah habis pematang sawah kami lalui, lambat laun tapi pasti perjalanan kami mulai menanjak menaiki perbukitan sebagai tanda bahwa kami mulai masuk ke area Gunung Halimun. Kami berhenti sejenak bermaksud untuk menghimpun tenaga kami yang mulai terasa menyusut akibat menanjaknya jalan perbukitan, setelah rehat dengan beberapa teguk air yang kami bawa, kami melanjutkan perjalanan menuju ke Gunung Halimun yang teryata juga tidak cukup mudah, kami menapaki terjalnya bebatuan dengan kemiringan hampir rata-rata tujuh puluh hingga delapan puluh derajat, stamina tubuh kami terkuras dan dipaksa harus dapat bertahan dengan suhu pegunungan yang begitu dingin. Alhamdulillah, setelah melalui perjalanan yang meletihkan dan memakan waktu hampir empat jam lebih berjalan kaki akhirnya kami tiba di suatu tempat, yakni suatu tempat diatas tebing dengan kemiringan sembilan puluh derajat di tengah hutan belantara Gunung Halimun.

Kakah sepintas bercerita kepada kami bahwa tempat tersebut adalah tempat dimana Kakah melakukan Riyadoh seorang diri. Kakah berkata ia pernah Riyadoh di tempat tersebut tujuh bulan lamanya, dan paling sebentar empat puluh hari ia Riyadoh di tempat tersebut. Kakah pun juga bercerita bahwa konon tempat tersebut juga dipakai Riyadoh oleh Waliyulloh yang bernama Eyang Wali Sakti Qudratulloh dan Eyang Haji Genter Bumi dalam kurun waktu yang berbeda. Kami bermalam semalam di tempat tersebut dan esok paginya ba’da sholat dhuha kami turun guna melanjutkan perjalanan ketempat berikutnya, yakni Ujungan Ujung Genteng Jampang Kulon Sukabumi.


Kami bertolak dari Pangguyangan pada pukul 16.00 wib menuju Ujungan. Lagi-lagi, perjalanan ke Ujungan tak kalah hebat dari perjalanan ke Gunung Halimun. Pukul 21.00 wib kami tiba di satu dusun di pesisir Pantai Selatan, Rumah seorang sahabatnya Kakah yang kami tuju, Mang Ijay begitu Kakah menyapa pemilik Rumah yang kami sambangi. Kakah menemui Mang Ijay bermaksud agar kami diantar Mang Ijay ke lokasi dimana beberapa tahun silam Kakah melaksanakan Riyadoh. Mang Ijay diminta mengantar kami karena ia menguasai medan lokasi tersebut.

Ternyata benar dugaan kami, mengapa Mang Ijay perlu mengantar kami. Tempat tersebut, dimana Kakah beberapa tahun melakukan Riyadoh posisinya ada di atas karang yang curam langsung tanpa batas berhadapan dengan samudra hindia yang terkenal dengan ancaman ombaknya yang sangat ganas. Sulit menggambarkannya tempat tersebut, karena tempat tersebut dalam hemat aku tidak sangat layak untuk ditinggali oleh manusia. Selain tempatnya yang siapa pun yang tinggal harus selalu waspada dari terjangan ombak pantai selatan yang tiba-tiba ketika sedang pasang dapat setinggi sepuluh meter, pada siang hari matahari begitu teriknya membakar kulit hingga Kakah berujar kepada kami bahwa teriknya dapat membakar kulit, minimalnya kulit akan menjadi hitam legam. Dan pada malam hari suhunya begitu dingin karena hembusan kuat angin samudra hingga dapat membuat tubuh ini menggigil. Belum lagi pada malam hari hewan-hewan liar seperti nyamuk hutan, harimau, babi hingga buaya muara terkadang suka menghampiri, meskipun tidak sampai mengganggu kata Kakah bercerita kepada kami. Kakah mengisahkan kepada kami bahwa ia berada di tempat tersebut selama tujuh bulan lamanya.

Setelah dari Ujungan Ujung Genteng Jampang Kulon Sukabumi kami pun bertolak ke Tasikmalaya untuk melanjutkan napak tilas ke lokasi dimana Kakah pernah melaksanakan Riyadoh. Singkat cerita, setiba di Tumasik yang sekarang lebih dikenal dengan Tasikmalaya, kami tidak langsung berjiarah ke tempat yang akan dituju. Kami istirahat bermalam dahulu di kediaman Kakah di Tasik, tepatnya di Jalan Bebedahan Satu Tasikmalaya. Selain bermalam untuk memulihkan stamina kami yang lumayan letih, kami juga menanti sahabat-sahabat yang akan datang untuk ikut serta dalam perjalanan napak tilas di wilayah Tumasik Kotanya Diah Pitaloka.

Sahabat-sahabat yang kami nantikan pun satu per satu berdatangan. Esok paginya ba’da dhuha kami pun berangkat menuju lokasi yang akan kami jiarahi. Dengan menggunakan angkot yang kami sewa kami menuju Singaparna dan berhenti di dekat jalan baru Galunggung Ciawi-Singaparna tidak jauh dari Pesantren Cipasung. Dari situ kami berjalan kaki menuju Pada Kembang yaitu ke makam Ibu Dalem Samiri. Setelah berjiarah dan melakukan sholat di mesjid dekat makam, kami melanjutkan berjalan kaki menuju Dinding Ari Galunggung. Perjalanan lumayan meletihkan, beberapa tanjatan curam, perbukitan, pematang sawah kami lewati dengan ditemani hawa sejuk pegunungan Galunggung. Akhirnya Alhamdulillah kami tiba di Rumah seorang tokoh masyarakat Dinding Ari yang dikenal sebagai Juru Kunci Ki Semplak Waja Dinding Ari, yakni Abah Ibrahim. Abah Ibrahim begitu hangat menerima kami, terutama kepada Kakah ia terlihat begitu tadzim menyambut Beliau. Di kediaman Abah Ibrahim kami di manjakan dengan santap malam yang begitu “natural”, sangat istimewa bagi kami. Kami pun bermalam di kediaman Abah Ibrahim.

Keesokan harinya dengan ditemani Abah Ibrahim kami diantar ke tempat beberapa tahun silam Kakah Riyadoh. Kembali kami dihadapkan dengan suatu tempat yang bagi khalayak umum mungkin tempat itu tak pantas untuk di tinggali. Yakni, satu tempat di sisi sungai dengan airnya yang deras dan disesaki oleh bebatuan yang besar-besar. Satu tempat yang diapit oleh dinding alam yang terjal. Satu tempat dimana sewaktu-waktu atau tiba-tiba air di sungainya dapat deras dan dapat menghanyutkan batu sebesar kerbau. Karena air tersebut berasal dari genangan di kawah Gunung Galunggung. Subhanalloh, hanya itu yang dapat kami katakan untuk mendeskripsikan secara detail tempat tersebut. Di tempat tersebut Kakah bercerita bahwa ia Riyadoh di Dinding Ari selama seratus hari. Selama Riyadoh di Dinding Ari Kakah hanya menyantap singkong saat ia berbuka puasa. Setelah puas menikmati suasana alam yang masih “virgin” kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju puncak Gunung Galunggung.

Setelah dari Gunung Galunggung dan beberapa tempat yang kami jiarahi (he…he…he… maaf aku belum dapat ceritakan semua di coretanku ini, tapi insyaAlloh dilain waktu jika ada coretNya akan aku ceritakan, atau aku “kumplitkan” coretan ini dengan kisah yang belum aku coretkan), aku kembali diajak Kakah ke Gunung Halimun untuk melakukan Riyadoh di sana. Aku di ajak Kakah Riyadoh dalam acara uzlah selama empat puluh delapan hari di atas Gunung Galunggung. Subhanalloh, selama empat puluh delapan hari aku di Gunung Halimun, di tengah hutan belantara yang masih relative “virgin”. Aku di Gunung Halimun bersama Kakah dan ditemani oleh Kang Iyus, atau terkadang Kang Hasan dan Kang Iwan saudaranya Mang Dadang ikut menemani Riyadoh kami. Sesekali beberapa sahabat menjenguk kami. Subhanalloh, Subhanalloh, Subhanalloh, lagi-lagi sulit aku menggambarkan apa yang aku alami selama menemani Riyadoh Kakah. Subhanalloh.

Dari awal menemani Kakah saat menuju Gunung Halimun dari Sriwidari hingga ikut menemani Riyadoh selama empat puluh delapan hari di Gunung Halimun, aku seringkali di buat heran dengan lakunya yang dalam pengamatanku tidak umum dengan khalayak ramai. Hingga suatu saat aku tercetus bertanya kepada Kakah, “apa sebenarnya yang Kakah minati atau inginkan dari sebab-sebab tersebut?”, pertanyaanku kepada Kakah. Kakah menjawab dengan tegas, dan aku reflek terperanjat dengan jawabannya, “ini bukan keinginan saya! Saya hanya melaksanakan apa yang dikehendakiNya! Justru saya selaku hamba ingin melakukannya dengan baik hingga tuntas apapun jadinya!“, begitu Kakah menjawab dengan pandangan tajam menatap kepadaku. Mendengar jawaban seperti itu aku hanya dapat berkata Subhanalloh.

Seusainya acara uzlah dalam Riyadoh empat puluh delapan hari di Gunung Halimun, aku mohon ijin ke Kakah untuk kembali kepada anak istriku yang telah lama ku tinggalkan. Sekaligus untuk menyongsong bulan penuh magfiroh, Ramadhon. Sesungguhnya, aku ingin sekali bercerita kisah ini dengan sedetail-detailnya. Namun, banyak hal yang masih sulit untuk aku terjemahkan perjalanan menemani laku Kakah ke dalam coretanku ini. Subhanalloh, begitu tak berbatas hikmah yang aku rasakan dan dapati dari perjalanan bersama Kakah. Dan itu ingin sekali aku berbagi dengan sahabat-sahabat sekalian. InsyaAlloh, saatnya dimampukan aku akan kembali mengisahkan perjalanan bersama Beliau, dan semoga dapat dimampukan untuk mengurai dan berbagi “rasa” yang ada dalam perjalanan laku Sang Kelana. Ya, ia adalah Sang Kelana yang sedang menanti jawaban dari yang memperjalankannya. (irp/pdl/Jumat, 8 Juni 2012)

selengkapnya...

Jumat, 28 Oktober 2011

Jejak dari sisi sungai Citanduy

Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh

Para pemerhati yang setia! Seandainya anda sekalian masih siap mengikuti berita saya mengenai kisah petualangan yang akrab saya sapa Kakah, silahkan simak kabar-kabar saya tersebut! Beliau yang dua tahun silam terekspos, kemudian tahun berikutnya saya sampaikan apa yang dia lakukan, ternyata kisah tersebut belum memberitakan kisah berarti. Karena dari persembunyiannya yang dia lakukan selama kurang lebih 7 (tujuh) bulan silam, dia belum dapat menyampaikan hasil yang diharapkan, tapi bukan berarti dia berhenti pada petualangannya.Beberapa saat yang lalu saya pernah menjumpai dia, tepatnya pada sepuluh hari menjelang akhir Ramadhan 1432 H, dia saya temui di sebuah hutan lindung sisi sungai Citanduy, perbatasan Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis, tempat itu familiar disebut Nagrog oleh penduduk setempat. Dia sedang melakukan kiat-kiat selanjutnya untuk dapat menyelesaikan apa yang sedang dia perjuangkan selama ini.

Dan ketika saya sapa dia kenapa berada di tempat tersebut, serta sedang melakukan apa? Dia hanya menjawab: “saya sedang melanjutkan apa yang telah Alloh Qudrat-IradatkanNya, yang telah empat puluh tujuh tahun silam menugaskan saya melakukan Hablu Minalloh! Berhubung mungkin saat belum menentukan, jadi saya akan melanjutkan upaya tersebut, hingga Yang Maha Kuasa memberikan putusan dan jawabanNya!” Dia berpesan kepada saya agar memintakan maaf kepada para pemerhati seandainya dia menyebabkan kecewa dan kesal, pula tetap memohon doa restu siapapun yang bersimpati atas petualangannya tersebut !!!

Dalam seloroh dan gurauannya kepada saya dia bilang: “Jauh hari sebelum Dedy Mizwar dan crewnya mencari Tuhan, saya telah melakukannya!” (ih/pdl)

selengkapnya...

Kamis, 10 Februari 2011

BERSATULAH, BERSATULAH, BERSATULAH

Bismillahirohmanirohiim

Wahai Kaum Muslim sedunia, khususnya saudara-saudara Kaum Muslim di Indonesia! Sekali lagi saya harapkan bersatulah untuk mencapai ridho Alloh demi keselamatan bersama!

Ingatlah pesan Rosululloh SAW pada khutbah terakhir di Arafah, Beliau berseru bahwa; “Setiap Kaum Muslim bersaudara dengan Muslim lainnya. Ia bagaikan unsur bangunan yang saling menguatkan, berkewajiban menghormati darah dan kehormatan hak-hak azasi sesama Kaum Muslim!"

Cobalah usahakan dengan penuh kesadaran yang ikhlas wahai Kaum Muslim, hidupkan rasa persaudaraan demi ukhuwah Islam yang kita harapkan. BERSATULAH, BERSATULAH, BERSATULAH kaljasadil wahid! Bersatu disini sekarang ini, mari kita panjatkan doa bersama sampai Alloh memperkenankan harapan kita bersama!!!



[KAKAH, 7 Rabi’ Al-Awwal 1432 H]


-----------------------
...sejak usia dua puluh tahunan ia telah meninggalkan dunia ramai, usia yang cukup muda pada zamannya. Empat puluh tahun lebih ia senantiasa berpuasa, dalam setahun hanya di hari tasyrik saja ia tak berpuasa. Selain sholat lima waktu yang wajib, tiap hari ia melakukan hampir seluruh sholat sunnah, sunnah-sunnah nawafil, tanpa kealpaan. Begitulah Kakah dalam kesendiriannya bermunajat mengejar CintaNya.

Kini usianya telah mencapai tujuh puluh dua tahun. Tak ada keinginan insaniyah kecuali terus riyadhoh, bermunajat menanti jawaban yang dijanjikanNya.

Kakah, begitulah ku sapa dirinya...

selengkapnya...

Rabu, 02 Februari 2011

Wahai Kaum Muslim

Waspadalah terhadap musibah yang sedang menimpa kita bersama; diantaranya dikarenakan para penguasa Negeri Kaum Muslimin yang tidak bertakwa kepada Alloh dan tidak memelihara urusan negeri dan rakyatnya secara amanah! Pula dikarenakan sikap Umat yang diam terhadap para penguasa zalim dan tidak memperhatikan rakyat!
BERSATULAH WAHAI KAUM MUSLIM DEMI AGAMA ISLAM, AGAMA ALLOH YANG HAQ YANG HARUS KITA BELA!

Ingat kekuatan Umat Islam adalah Wahdatul Umah dan Tawhid Billah!
[KAKAH, 19 Syafar 1432 H]

selengkapnya...
© 2011 - guhali powered by lamping patapaan